Kamis, 04 April 2013

Khalifah





Mempertimbangkan dan menghubungkannya dengan sekian ayat atau hadits lainnya sebagai sebuah kesatuan nilai-nilai agama. Dalam sejarah Islam klasik, cara-cara seperti ini pernah dilakukan oleh Khawarij  yang di kenal begitu bersemangat dalam keagamaan tetapi dengan pemahaman sempit sehingga berlebihan. Fenomena ini telah di prediksi sebelumnya oleh Rasulullah dalam sebuah sabdanya:
Pada akhir zaman nanti akan dating sekelompok orang dari kalangan muda, dengan pemikiran yang sempit. Mereka mengutip ayat-ayat al-Qur’an, tetapi mereka keluar dari kebenaran seperti panah lepas dari busurnya. Iman mereka hanya sampai di tenggorokan (tidak sampai ke hati sehingga dapat memahaminya dengan baik).
     Karna kecewa dengan perkembangan politik pasca penetapan Imam Ali sebagai Khalifah, kalangan Khawarij mengafirkan lawan-lawan politik mereka, dan menyerukan pembangkangan dengan dalih pernyataan, hukum hanya bersumber dari Allah (la hukma illa lillah). Beberapa aksi kekerasan di mesir di tahun Sembilan puluhan seperti penyerangan terhadap seniman yang dianggap mengumbar aurat, tempat-tempat maksiat, sarana-sarana dan fasilitas milik non muslim juga terjadi atas nama amar makruf nahi munkar. Penyerangan dan pengeboman gereja menjelang atau di malam natal yang sering terjadi di tanah air kita juga dilatarbelakangi itu. Jika demikian, tujuan mulia seperti apa yang ingin di capai jika cara yang di tempuh tidak mulia? Yang terjadi, upaya memberantas kemungkaran dilakukan dengan menimbulkan kemungkaran baru.
     Agar tidak terjadi kekacauan dalam pelaksanaan konsep hisbah, para ulama-berdasarkan kajian mendalam terhadap teks-teks keagamaan-menyimpulkan beberapa ketentuan bagi pelaku hiabah. Ulama besar ibnu Taimiyah mengatakan, “Amr ma’ruf nahi munkar adalah kewajiban yang terberat. Sesuatu yang di wajibkan atau di anjurkan harus mendatangkan kemaslahatan, bukan kemudharatan, karna para Rasul di utus untuk membawa kemaslahatan, dan Allah tidak menyukai kerusakan. Karna itu, amar makruf nahi munkar tidak boleh  melahirkan kemunkaran baru. Sesuatu yang banyak mengandung mudarat tidak akan di perintahkan oleh Allah”. Lebih lanjut, Ibnu Taimiyah menjelaskan syarat utama seseorang yang akan melakukan amar makruf nahi munkar yaitu memiliki ilmu pengetahuan, bersikap lemah lembut, berjiwa sabar dan menempuh cara-cara yang baik. Ilmu pengetahuan mengharuskan seseorang untuk melakukan perhitungan terhadap hasil yang akan di peroleh dari amar makruf nahi munkar. Kalau menurut dugaan upayanya itu tidak akan menghasilkan apa-apa (tidak membawa perubahan), bahkan justru mendatangkan bahaya maka gugur sudah kewajiban tersebut. Bahaya di maksud, menurut Imam al-Ghazali, dapat berupa penyiksaan secara fisik, kerugian secara moril atau materil (harta,kedudukan,harga diri). Al-Ghazali mencontohkan, jika dengan hisbah seseorang akan dipukul/dihukum di depan umum hingga membuatnya malu, atau harta dan rumahnya terampas, maka tidak berlaku baginya hisbah. Segala perintah dalam agama di laksanakan berdasarkan kemampuan (Qs.ath-Thalaq [65]: 7; Qs.at-Taghabun [64]: 16). Tanpa kemampuan kewajiban gugur. Pakar tafsir al-Qurthubi ketika menafsirkan Qs. Al-Maidah [5]: 105 yang berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu mendapatkan petunjuk. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, maka dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar