Mempertimbangkan
dan menghubungkannya dengan sekian ayat atau hadits lainnya sebagai sebuah
kesatuan nilai-nilai agama. Dalam sejarah Islam klasik, cara-cara seperti ini
pernah dilakukan oleh Khawarij yang di
kenal begitu bersemangat dalam keagamaan tetapi dengan pemahaman sempit
sehingga berlebihan. Fenomena ini telah di prediksi sebelumnya oleh Rasulullah
dalam sebuah sabdanya:
Pada akhir zaman nanti akan dating sekelompok
orang dari kalangan muda, dengan pemikiran yang sempit. Mereka mengutip ayat-ayat
al-Qur’an, tetapi mereka keluar dari kebenaran seperti panah lepas dari
busurnya. Iman mereka hanya sampai di tenggorokan (tidak sampai ke hati
sehingga dapat memahaminya dengan baik).
Karna kecewa dengan perkembangan politik
pasca penetapan Imam Ali sebagai Khalifah, kalangan Khawarij mengafirkan lawan-lawan
politik mereka, dan menyerukan pembangkangan dengan dalih pernyataan, hukum
hanya bersumber dari Allah (la hukma illa
lillah). Beberapa aksi kekerasan di mesir di tahun Sembilan puluhan seperti
penyerangan terhadap seniman yang dianggap mengumbar aurat, tempat-tempat
maksiat, sarana-sarana dan fasilitas milik non muslim juga terjadi atas nama
amar makruf nahi munkar. Penyerangan dan pengeboman gereja menjelang atau di
malam natal yang sering terjadi di tanah air kita juga dilatarbelakangi itu.
Jika demikian, tujuan mulia seperti apa yang ingin di capai jika cara yang di
tempuh tidak mulia? Yang terjadi, upaya memberantas kemungkaran dilakukan
dengan menimbulkan kemungkaran baru.
Agar tidak terjadi kekacauan dalam
pelaksanaan konsep hisbah, para
ulama-berdasarkan kajian mendalam terhadap teks-teks keagamaan-menyimpulkan
beberapa ketentuan bagi pelaku hiabah.
Ulama besar ibnu Taimiyah mengatakan, “Amr ma’ruf nahi munkar adalah kewajiban
yang terberat. Sesuatu yang di wajibkan atau di anjurkan harus mendatangkan
kemaslahatan, bukan kemudharatan, karna para Rasul di utus untuk membawa
kemaslahatan, dan Allah tidak menyukai kerusakan. Karna itu, amar makruf nahi
munkar tidak boleh melahirkan kemunkaran
baru. Sesuatu yang banyak mengandung mudarat tidak akan di perintahkan oleh Allah”.
Lebih lanjut, Ibnu Taimiyah menjelaskan syarat utama seseorang yang akan
melakukan amar makruf nahi munkar yaitu memiliki ilmu pengetahuan, bersikap lemah
lembut, berjiwa sabar dan menempuh cara-cara yang baik. Ilmu pengetahuan
mengharuskan seseorang untuk melakukan perhitungan terhadap hasil yang akan di
peroleh dari amar makruf nahi munkar. Kalau menurut dugaan upayanya itu tidak
akan menghasilkan apa-apa (tidak membawa perubahan), bahkan justru mendatangkan
bahaya maka gugur sudah kewajiban tersebut. Bahaya di maksud, menurut Imam
al-Ghazali, dapat berupa penyiksaan secara fisik, kerugian secara moril atau
materil (harta,kedudukan,harga diri). Al-Ghazali mencontohkan, jika dengan hisbah seseorang akan dipukul/dihukum di
depan umum hingga membuatnya malu, atau harta dan rumahnya terampas, maka tidak
berlaku baginya hisbah. Segala
perintah dalam agama di laksanakan berdasarkan kemampuan (Qs.ath-Thalaq [65]:
7; Qs.at-Taghabun [64]: 16). Tanpa kemampuan kewajiban gugur. Pakar tafsir
al-Qurthubi ketika menafsirkan Qs. Al-Maidah [5]: 105 yang berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu;
tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu
mendapatkan petunjuk. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, maka dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah
kamu kerjakan”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar