Berdasarkan penjelasan di atas,
tidak diragukan lagi bahwa dalam islam terdapat hukum yang menjamin keselamatan
dan perlindungan warga sipil dan non-kombatan serta fasilitas atau objek sipil
yang tidak boleh dijadikan sasaran perang. Jaminan ini dalam islam berlandaskan di atas beberapa prinsip dasar
dalam islam, yaitu:
Pertama,
tujuan poko dari ajaran islam (maqoshid syari’ah) adalah menjaga dan
memelihara hak-hak manusia yang paling mendasar, khususnya hak hidup,
hak beragama, hak memelihara akal, keluarga dan kepemilikan. Tidaklah aneh
karenanya bila islam mengecam berbagai bentuk tindak kekerasan dan kelaliman
yang dilakukan kepada orang/kelompok lain, sampai-sampai islam menganggap
kelaliman yang dilakukan kepada seorang manusia secara keseluruhan.
Sesungguhnya islam memandang kehidupan dan nyawa manusia sebagai sesuatu yang
suci yang menjadi tanda komitmen yang teguh untuk menjamin hak asasi manusia,
sesuai firman Allah swt:
“Barang siapa yang
membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau
bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah
membunuh manusia seluruhnya”.(QS.
Al-Maidah [5]:32)
Tambahan
lagi, dalam pandangan islam, setiap individu manusia merupakan personifikasi
dari kemanusiaan yang dimuliakan oleh Allah.[1]Dan,
kemanusiaan yang sangat dihormati dan dijaga oleh islam ini terefleksi dari
bagaimana setiap manusia diperintahkan untuk menghormati manusia yang lain: kebebasannya, kehormatannya, dan
hak-hak kemanusiaan lainnya.[2]
Kedua,
prinsip pembedaan (principle of distintion)antara warga sipil dan pejuang
(militer) sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Prinsip ini dengan singkat
dan padat ditegaskan dalam Al-Quran
bahwa sasaran peramg bagi pasukan Muslim adalah, “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu,
(tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melamapui batas.”[3]
Ayat
di atas secara jelas menyatakan bahwa kendatipun peperangan diizinkan dalam
islam untuk tujuan-tujuan yang legal, akan tetapi di dalamnya terkandung
ancaman untuk tidak melampaui batas-batas diperbolehkan peperangan, termasuk di
antaranya membunuh warga sipil yang tak berdosa dan memorak-morandakan
fasilitas-fasilitas mereka, seperti rumah sakit, sekolah, dan sejenisnya.
Karena itulah Allah swt. Menegaskan kembali di surah yang lain:
“Oleh sebab itu,
barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang denagn
serangannya terhadapmu”.
(QS.al-Baqoroh [2]: 194)
“Dan jika kamu
memberikan balsan maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang
ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang
lebih baik bagi orang-orang yang sabar”. (QS.an-Nahl [16]: 126)
Ketiga, prinsip fithrah dasar
manusia adaalh keadaan tidak bersalah secara moral (moral innocence), yakni
bebas dari dosa. Dengan kata lain, islam tidak mengenal istilah “dosa bawaan”
atau “dosa turunan”. Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya
dan tidak dapat membebaninya ke pundak orang lain, sesuai firman Allah swt:
“(Yaitu) bahwasannya
seorang yang berdosa tidak akan memikul
dosa orang lain”.
(QS. Al-Najm [53]:38)
Karenanya,
membunuh warga sipil yang tidak berdosa adalah termasuk suatu tindakan yang
tidak direstui dalam islam. Oleh karena itu pula, Yusuf Qaradhawi dan beberapa
fatwa lembaga islam internasional[4]
sepakat mengutuk berbagai tindakan terror yang menjadikan warga sipil sebagai
sasaran penyerangan, seperti pembajakan pesawat sipil, pengeboman objek-objek
wisata dan gedung sipil, dan aksi-aksi terror serupa.[5]
[1]
QS.al-Isra’ [17]: 70; al-hijr [15]: 29.
[2]
Lihat M.H> Zaqzuq, Haqo’iq Islamiyyah fi Muwahajat Hamalat
at-Tasykik,(Kairo: Maktabah Asy-syuruk al-Dawliyyah ,2004), h. 51-52.
[3]
QS.al-Baqoroh [2]:190.
[4]
Tentang fatwa-fatwa Lembaga Islam Internasional, lihat “Lampiran Pengecamaan
Agama Islam Terhadap Peristiwa Bom Bali dan Aksi Teroris Serupa “ dalam M.H.
Hasssan, Terroris membajak Islam , h. 235 dan seterusnya.
[5]
Yusuf al-Qaradhawi, al-islam wa al-‘Unf: nazharat Ta’shiliyyah,( Kairo:Dar
al-Syuruq, 2005) h. 27-29.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar