Kamis, 13 Juni 2013

Perbedaan Iman dan Islam


Kita harus membedakan antara istilah iman dan Islam karena mencampuradukkan dua istilah ini menyebabkan vonis hukum terhadap manusia secara tidak benar. Orang yang memperhatikan Hadis Jibril akan menemukan perbedaan antara iman dan Islam. Kedua istilah ini disebutkan secara bersamaan. Dalam Hadis tadi Rasulullah Saw menjelaskan iman dengan amalan hati, yaitu beriman kepada Allah, malaikat, kitab-kitabNya, para rasul, hari akhir dan takdir. Kemudian beliau menjelaskan Islam  dengan amalan anggota badan, yaitu mengucapkan dua syahadat, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan haji.[1]
Adapun ketika dua kata ini tidak disebutkan secara bersamaan, masing-masing saling berkaitan. Tidak ada iman tanpa Islam dan tidak ada Islam tanpa iman. Iman berkaitan dengan hati dan Islam berkaitan dengan amal-amal luar. Inilah yang dimaksud Hadis, “Islam itu terang-terangan dan iman itu di dalam hati.”[2] Dan makna inilah yang dimaksud firman Allah Swt,
“Orang-orang Arab Badui berkata, "Kami telah beriman." Katakanlah (kepada mereka), "Kamu belum beriman, tetapi katakanlah ‘Kami telah tunduk (Islam),’ karena iman belum masuk ke dalam hatimu” (Qs. Al-Hujurât [49]: 12).
Terkadang disebutkan kata Islam, tetapi yang dimaksudkan adalah agama. Hal ini sebagaimana yang tersebut dalam Hadis Nabi Saw,
اَلْإِسْلاَمُ أَنْ يَسْلَمَ قَلْبُكَ لِلَّهِ وَيَسْلَمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِكَ وَيَدِكَ.
“Islam adalah hati pasrah kepada Allah dan kaum muslimin selamat dari lisan dan tanganmu.”[3]



[1] HR. Bukhari,  nomor 4499 dari Abu Hurairah Ra.
[2] HR. Ahmad, nomor 2923. Syaikh Husain Asad mengatakan bahwa sanad Hadis ini hasan.
[3] Kanzul Ummâl, nomor 305. Pengarangnya menisbatkan Hadis ini kepada Baihaqi dari Abu Qiladah dari seeorang penduduk Syam dari ayahnya.

Selasa, 11 Juni 2013

Dengan Apa Orang Kafir Masuk Islam?


Orang kafir masuk Islam hanya dengan mengucapkan dua kalimat syahadat meskipun belum shalat, zakat dan lainnya. Sesungguhnya ibadah-ibadah ini tidak diterima kecuali dari orang muslim. 

Dia cukup mengakui kewajiban-kewajiban dan menetapinya, meskipun tidak melakukannya secara nyata. Syahadat ini yang menjaga darah dan harta orang muslim, seperti yang tersebut dalam Hadis,
فَإِذَا قَالُوْهَا فَقَدْ عَصَمُوْا مِنِّيْ دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّهَا وَ حِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ.
“Barangsiapa yang mengucapkannya, maka mereka menjaga darah dan harta mereka dariku kecuali yang berkaitan dengan haknya. Adapun hisab mereka urusan Allah.”[1]



[1] HR. Bukhari, nomor 2786 dan Muslim, nomor 21.

Senin, 10 Juni 2013

Batas Paling Rendah Iman


Dari uraian Syaikh Yusuf Qardhawi di atas, kita mendapat kejelasan bahwa ada amal-amal yang jika tidak ditinggalkan menyebabkan kurangnya iman, tetapi tidak membatalkannya dan ada amal-amal yang jika ditinggalkan menyebabkan batalnya iman.

 Ada batas paling rendah, yang jika seseorang meninggalkannya, imannya batal. Hal ini sebagaimana yang dikatakan penulis Ath-Thahawiyah, “Manusia dalam hal ini sama.”[1] 

Imam Baihaqi telah menyusun kitabnya, Al-Jâmi’ Lisyu’ab Al-Îmân, yang membahas masalah tersebut. Kitab ini membahas pokok iman dan cabang-cabangnya berupa ibadah, muamalah, dan akhlak. 

Barangsiapa yang menyia-nyiakan pokok iman, dia tidak disebut beriman secara mutlak. Dan barangsiapa yang menyia-nyiakan sebagian cabang iman tanpa pokoknya, maka dia tidak memiliki iman yang sempurna, tetapi tidak dikatakan sebagai kafir.





[1] Al-Aqidah Ath-Thahawiyah, hlm. 44.

Jumat, 31 Mei 2013

Bantahan atas Pengkafiran


Nabi Saw telah memberikan peringatan keras atas tuduhan kafir. Beliau bersada, “Barangsiapa yang berkata kepada saudaranya, ‘Wahai orang kafar,’ sesunggunya salah satu dari keduanya telah menjadi kafir.” Kami telah menjelaskan pendapat-pendapat yang dinukil Imam Nawawi dalam mensyarahi Hadis ini. Dalam Hadis Usamah bin Zaid Ra disebutkan bahwa oarang yang mengucapkan lâ ilâ illallâh telah masuk Islam dan darah dan hartanya wajib dilindungi. Meskipun dia mengucapkannya demi menyelamatkan diri. Urusannya kita serahkan kepada Allah. Kita hanya menghukumi berdasarkan zahir. Karena itulah, Nabi Saw sangat mengingkari Usamah ketika membunuh seseorang dalam peperangan setelah orang tadi membaca syahadat. Beliau bersabda, “Apakah kamu membunuhya setelah dia mengucapkan, ‘Tidak ada tuhan selain Allah?’” Usamah berkata, “Sesungguhnya dia mengucapkannya untuk melindungi diri dari pedang.” Beliau bersabda, “Apakah kamu membedah hatinya? Apa yang kamu perbuat dengan lâ ilâha illallâh?” Usamah berkata, “Beliau selalu mengulang-ulangnya hingga aku berharap masuk Islam pada hari itu.”[1]

Beberapa Istilah yang Perlu Dijelaskan Agar Tidak Terjadi Kesalahpahaman
1. Iman.
Iman menurut bahasa adalah membenarkan, sebagaimana yang tersebut dalam Mukhtâr Ash-Shihâh. Adapun iman menurut istilah Ahlussunnah wal-Jamaah adalah, mengucapkan dengan lisan, mebenarkan dengan hati dan mengamalkan dengan anggota badan. Menurut sebagian ulama Hanafiyah, iman artinya membenarkan. Dan menurut mayoritas Hanafiyah, iman artinya membenarkan segala yang dibawakan oleh Nabi Saw dengan disertai pengakuan lisan. Ahlussunnah wal-Jamaah mendefinisikan iman dengan perkataan dan perbuatan.
Syaikh Hafizh Hukmi menjelaskan hal tersebut seperti di bawah ini.
Ucapan hati, artinya hati membenarkan. Ucapan lisan, artinya mengucapkan dua kalimat syahadat, yaitu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah serta mengakui konsekwensi-konsekwensinya.
Perbuatan hati, artinya niat, ikhlas, cinta, pasrah, menghadap kepada Allah, tawakal dan konsekwensi-konsekwensinya.
Perbuatan lisan dan anggota badan. Perbuatan lisan, artinya sesuatu yang tidak dapat tercapai kecuali melalui lisan, seperti membaca Al-Quran, segala zikir, tasbih, tahmid, tahlil, takbir, doa, istighfar dan lain sebagainya.
Perbuatan anggota badan, artinya sesuatu yang tidak dapat terlaksana kecuali dengan anggota badan, misalnya berdiri, rukuk, sujud, berjalan menuju ridha Allah, pergi ke masjid, haji, jihad, dan amar makruf dan nahi mungkar.[2]
Ibnu Bathal mengatakan, “Jika dikatakan, ‘Kamu telah menetapkan bahwa iman adalah membenarkan,’ maka dikatakan, membenarkan merupakan awal tingkatan-tingkatan iman dan pintu masuk pertama orang-orang yang membenarkan, namun tidak mewajibkan penyempurnaan tingkatan-tingkatannya. Akan tetapi, yang seperti ini tidak dinamakan iman secara mutlak.
Menurut kalangan Ahlussunnah wal-Jamaah, iman adalah ucapan dan perbuatan. Abu Ubaid mengatakan, “Ini merupakan pendapat Imam Malik, Nawawi, Auza’i dan orang-orang setelah mereka dari kalangan Ahlussunnah di berbagai tempat. Makna inilah yang ingin disampaikan Imam Bukhari dalam Kitâb Al-Îmân dan membuat bab-bab di bawah pembahasan iman.[3]
Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bâri menjelaskan bahwa ulama salaf mengatakan, iman adalah meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota badan. Mereka bermaksud bahwa amal adalah syarat kesempurnaan iman. Dari sini muncullah perkataan bahwa iman itu bertambah dan berkurang.
Sementara kaum Murjiah mengatakan, “Iman adalah keyakinan dan ucapan.” Kelompok Karamiah mengatakan, “Iman hanyalah ucapan.” Muktazilah mengatakan, “Iman adalah amal, ucapan dan keyakinan.”
Yang membedakan antara mereka dengan ulama salaf adalah mereka menjadikan amal sebagai syarat sah iman, sedangkan salaf menjadikan amal sebagai penyempurna iman.
Al-Hafizh mengatakan, “Semua ini dipandang dari apa yang ada di sisi Allah. Adapun dipandang dari sisi kita, iman adalah pengakuan saja. Barangsiapa yang mengaku iman, maka diberlakukan hukum-hukum iman terhadapnya di dunia dan tidak dihukumi kafir kecuali dibarengi dengan perbuatan yang menunjukkan kekafiran, seperti sujud kepada berhala. Jika perbuatan tidak menunjukkan kekafiran, seperti fasik, barangsiapa yang mengatakan orang seperti ini iman karena memandang pengakuannya dan barangsiapa yang mengkafikan iman darinya, karena memandang kesempurnaan iman. Barangsiapa yang menyebutnya kafir, karena memandang hal tersebut perbuatan kafir dan barangsiapa yang menafikan kafir darinya, karena memandang hakikat iman.”
Kesimpulan penjelasan Ibnu Hajar, antara lain.
1. Ahlussunnah wal-Jamaah menjelaskan iman dengan keyakinan dalam hati, ucapan dengan lisan dan perbuatan dengan anggota badan.
2. Ada perbuatan yang menggugurkan iman, seperti tidak melakukan kewajiban. Ada perbuatan yang menjadi penyempurna iman, bukan syarat iman. Oleh karena itu, iman bertambah dan berkurang.
3. Ada perbuatan-perbuatan yang menunjukkan kekafiran pelakunya, seperti sujud kepada berhala.
Syaikh Yusuf Qardhawi mengatakan, “Iman apabila diungkapkan secara umum maksudnya iman yang sempurna, yaitu iman yang mengumpulkan antara pembenaran hati, pengakuan lisan, dan praktik anggota badan. Inilah iman yang disebutkan dalam firman Allah Swt,
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya” (Qs. Al-Anfâl [8]: 2).
Begitu juga yang terdapat Hadis Nabi Saw,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ.
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah menyambung tali persaudaraan.”
Dan yang terdapat dalam Hadis Nabi Saw bahwa iman mempunyai cabanya sebanyak tujuh puluh cabang. Yang paling utama, ucapan lâ ilâha illallâh dan yang paling rendah, menyingkirkan duri dari jalan. Malu adalah cabang dari iman.”[4]



[1] HR. Bukhari, nomor 4269 dan Muslim, nomor 96.
[2] Ma’ârijul Qabûl, 2/13.
[3] Syarah Shahih Muslim, 1/147.
[4] HR. Bukhari, nomor 35 dari Abu Hurairah Ra.

Kamis, 30 Mei 2013

Akar Pengkafiran


Pembicaraan mengenai pengkafiran mengharuskan kita untuk membahas asal-usulnya demi mengetahui sebab penyakit ini. Asal mula pengkafiran terjadi pada zaman fitnah besar ketika sekelompok kaum muslimin yang dikenal dengan Khawarij melakukan pengkafiran tanpa keahlian yang dimilikinya.
Syahrastani mengatakan, “Ketahuilah, orang yang pertama kali memberontak kaum Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib Ra adalah kelompok yang dulu bersamanya dalam perang Shiffin. Orang yang paling keras menentangnya adalah Asy’ats bin Qais Al-Kindi, Mas’ar bin Madzki At-Tamimi, dan Zaid bin Hushain Ath-Thai`i ketika mereka mengatakan, “Kaum (kelompok Muawiyah) mengajak kita untuk kembali kepada Kitabulah dan kamu mengajak kami untuk kembali kepada pedang.” Ali menjawab mereka hingga berkata, “Aku orang yang paling tahu tentang Kitabullah. Pergilah dan bergabunglah dengan pasukan. Pergilah kepada orang yang berkata, “Allah dan Rasul-Nya berdusta, sedang kalian mengatakan, “Allah dan Rasul-Na benar. Mereka tidak rela dengan ini. Mereka mengatakan, “Itu hanya dari dirimu sendiri.” Mereka memaksa Ali untuk mengutus Abu Musa Al-Asy’ari untuk berhukum dengan Kitabullah. Ali tidak rela dengan apa yang sudah terjadi. Akhirnya mereka berontak kepadanya dan berkata, “Kenapa kamu berhukum kepada orang-orang? Tidak ada hukum kecuali kepada Allah.” Mereka kaum pemberontak yang berkumpul di Nahrawan. Pecahan-pecahan mereka yang terbesar adalah Muhakkimah, Azariqah, Najdad, Baihasiyah, Ajaridah, Tsa’alibah, Ibadhiyah, dan Shafariyah. Adapun yang lain adalah pecahan-pecahan kelompok ini. Mereka bersatu dalam semangat melepaskan diri dari Utsman Ra dan Ali Ra. Mereka mengutamakan hal ini di atas semua ketaatan. Mereka tidak mengesahkan pernikahan kecuali atas hal ini. Mereka mengkafirkan semua pelaku dosa besar dan memberontak penguasa apabila dianggap menyalahi Sunnah.”[1]
Syaikh Yusuf Qardhawi mengatakan, “Inilah yang terjadi pada kaum Khawarij di awal Islam. Mereka orang yang paling rajin beribadah puasa, shalat, dan membaca Al-Quran. Akan tetapi, kerusakan mereka ada dalam pemikiran, bukan dalam hati mereka. Mereka menganggap amal buruk mereka sebagai amal yang baik. Perilaku mereka tersesat dalam kehidupan dunia, namun mereka menyangka berbuat kebaikan.”



[1] Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, 1/114-115, Cet.  Al-Halabi, Mesir.

Rabu, 29 Mei 2013

1. Dampak Buruk Pengafiran


a. Kerugian-Kerugian Akibat Pengafiran
Sesungguhnya orang memvonis kafir terhadap sesama muslim secara tidak benar akan terseret ke dalam kerugian-kerugian seperti di bawah ini.
1. Terjatuh ke dalam ancaman keras yang ditetapkan syariat bagi orang yang mengafirkan seorang muslim lain. Banyak riwayat Hadis yang menunjukkan haramnya mencela muslim, dengan ucapan, “Wahai orang kafir.” Terlebih lagi dengan vonis kafir.
 Ibnu Umar Ra meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda,
مَنْ قَالَ لِأَخِيْهِ: يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا فَإِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ.
“Barangsiapa yang berkata kepada sesama saudaranya, wahai orang kafir, maka tuduhan ini kembali kepada salah satunya. Jika apa yang dikatakan benar, tidak apa-apa dan jika yang dikatakan tidak benar, tuduhan itu kembali kepada dirinya.”[1]
Tsabit bin Dhahhak Ra meriwayatkan bahwa beliau bersabda,
وَمَنْ رَمَى مُؤْمِناً بِكُفْرٍ فَهُوَ كَقَتْلِهِ.
“Barangsiapa yang menuduh orang mukmin dengan kafir, dia seperti membunuhnya.”[2]
Imam Nawawi mengatakan, “Hadis ini ditakwil dengan beberapa takwil. Pertama, ancaman Hadis tadi untuk orang yang menganggapnya halal. Kedua, penghinaan dan maksiat pengkafiran kembali kepada dirinya. Ketiga, maksud Hadis tadi, orang-orang Khawarij yang mengkafirkan orang-orang mukmin. Takwil ini dhaif. Keempat, maknanya, pengkafiran akan berujung kepada kekafiran, karena maksiat adalah jendela kekafiran. Orang yang banyak melakukannya dikhawatirkan berujung pada kekafiran. Kelima, maknanya, pengkafirannya kembali kepada dirinya. Jadi, yang kembali bukan kafirnya, tetapi pengkafirannya karena ia telah menganggap saudaranya kafair, maka seolah ia mengkafirkan dirinya sendiri. Adakalanya ia mengkafirkan orang sepertinya atau mengkafirkan orang yang memang meyakini batalnya agama Islam.”[3]
Orang yang menuduh kafir kepada orang muslim berhak mendapat hukuman di dunia. Bahkan ada yang menganggap tuduhannya lebih buruk daripada tuduhan zina. Para ulama telah membahas hukumannya, sebagaimana yang kami jelaskan di bawah ini.
Penulis Ad-Durrul Mukhtar mengatakan, “Orang yang mencela dengan ucapan, ‘Wahai orang kafir,’ dikenai hukuman takzir. Apakah orang yang menuduh orang Islam sebagai kafir menjadi kafir? Ada yang mengatakan iya dan ada yang mengatakan tidak. Dalam Tatarkhaniyah disebutkan, “Ada yang berpendapat, dia tidak ditakzir selama tidak mengatakan, “Wahai orang kafir dengan Allah.” Karena ada kemungkinan dia kafir dengan thaghut.”[4]
Ibnu Abidin mengatakan, “Di dalam An-Nahr dan Adz-Dzakhîrah disebutkan, “Fatwa yang terpilih, jika dia bermaksud mencela tanpa meyakininya orang kafir, tidak kafir dan jika meyakininya kafir, lalu dia mengatakan perkataan tadi berdasarkan keyakinannya, maka dia kafir, karena dia telah meyakini orang muslim sebagai orang kafir.”[5]
2. Vonis kafir terhadap seorang muslim adalah perkara yang berbahaya. Hal ini karena vonis kafir berakibat penghalalan darah dan hartanya, perceraian dengan istrinya, putusnya hubungan dengan kaum muslimin sehingga tidak punya hak waris-mewarisi, tidak boleh menjadi wali, jika meninggal tidak dimandikan, tidak dikafankan, tidak dishalatkan dan tidak dikubur bersama kaum muslimin.
4. Menyebarnya vonis kafir terhadap kaum muslimin di kalangan orang-orang yang tidak berilmu akan menimbulkan kekacauan dalam masyarakat muslim. Orang yang memiliki otoritas dalam hal ini adalah para ulama yang merupakan para pewaris Nabi Saw.
5. Vonis kafir terhadap orang mukmin karena berbuat maksiat berarti menutup pintu harap bagi orang-orang mukmin yang berbuat maksiat dan membuka pintu putus asa dari rahmat Allah. Bisa jadi, orang yang berbuat maksiat tidak segera bertaubat dan meminta ampunan, bahkan cenderung meneruskan maksiatnya.
Apa yang kami sampaikan tadi merupakan sedikit dari bahaya-bahaya vonis pengkafiran terhadap kaum muslimin tanpa dasar. Kita melihat Rasulullah Saw telah menjadikan vonis kafir ini seperti pembunuhan. Hal ini menunjukkan bahaya besar yang ditimbulkannya yang bisa merusak kepribadian seseroang, bahkan merusak tatanan masyarakat muslim.



[1] HR. Bukhari, nomor 5753 dan Muslim, nomor 60 dari Abdullah bin Umar Ra.
[2] HR. Bukhari, nomor 5754 dari  Dhahhak bin Tsabit Ra.
[3] Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, 2/50.
[4] Ad-Durrul Mukhtar Syarah Tanwirul Abshâr, 3/69.
[5] Hasyiyah Ibnu Abidin, 2/69.

Senin, 27 Mei 2013

Sikap Ekstrem Dalam Bentuk Mengafirkan Umat Islam yang Berbuat Maksiat



Allah Swt berfirman,
“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) "umat moderat(Qs. Al-Baqarah [2]: 145).
Allah telah memuji umat ini dengan sifat tersebut, yakni umat pertengahan atau moderat. Pertengahan Islam adalah pertengahan antara dua keburukan, antara berlebihan dan ketidakpedulian. Kedua-duanya buruk. Setiap muslim wajib ada dalam pertengahan dalam setiap perbuatan dan ucapannya. Hendaknya ia berjalan di atas petunjuk Nabi Saw dan petunjuk Nabi Saw itu sendiri adalah pertengahan. Beliau telah menunjukkan segala hal yang baik dan memerintahkan kita dengannya dan menunjukkan segala hal yang buruk dan mencegah kita darinya.
Karena kasus pengkafiran kaum muslimin telah menjadi fenomena yang mana sekelompok pemuda telah terjatuh di dalam pengkafiran ini karena bodoh atau menuruti hawa nafsu, maka kita wajib menjelaskan bahaya fenomena ini dan ini merupakan bagian dari fenomena ekstremisme dalam beragama dan sikap yang keras dalam menghukumi manusia tanpa dasar.
Pembahasan di sini berkisar tentang kelompok kecil yang menisbatkan diri kepada pergerakan Islam, padahal pergerakan Islam tidak ada kaitan apa pun dengannya. Mereka berlebih-lebihan dan bersikap keras tanpa dasar yang benar dalam menghukumi manusia. Mereka menganggap orang muslim keluar dari agama Islam dan menghukuminya dengan kafir karena berdasarkan syubhat, hawa nafsu, atau taklid dengan orang yang sesat dan menyesatkan atau sebab-sebab lain.
Sebelum membahas pemikiran-pemikiran mereka yang teracuni dan membantahnya, kami menjelaskan bahaya menghukumi orang Islam dengan kafir, bahaya mudah mengkafirkan manusia dan bahaya orang yang tidak ahli lalu menempati posisi hakim dan mufti sehingga mengkafirkan orang yang dikehendaki dan menganggap Islam orang yang dikehendakinya.
Imam Ghazali mengatakan, “Wasiat saya, hendaknya kamu menjaga lisanmu dari mengkafirkan kaum muslimin selama mereka mengucapkan, ‘Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah,’ tanpa membatalkannya. Sesungguhnya pengkafiran itu berbahaya dan diam tidak ada bahaya.”[1]
Syaikh Yusuf Qardhawi mengatakan, “Sikap ekstrem ini mencapai puncaknya ketika sudah menganggap darah dan harta orang lain halal, tidak melihat mereka mempunyai kehormatan dan perjanjian. Hal ini terjadi ketika seseorang terjerumus dalam gelombang pengkafiran dan menuduh manusia telah murtad dari lslam atau tidak masuk Islam sama sekali, sebagaimana tuduhan sebagian mereka.”


[1] Imam Abu Hamid Al-Ghazali, Faishal At-Tafriqah, 1/14-15, Kairo, 1907 yang dinukil Dr. Muhammad Imarah.