Minggu, 19 Mei 2013

Kacamata Syariat dalam Amar Makruf Nahi Mungkar



                        

Kedua penulis menyajikan beberapa tingkatan yang harus diperhatikan dalam melakukan amar makruf nahi mungkar, baik yang bersifat wajib maupun sunnah. Tingkatan tersebut sebagai berikut:
  1. Memberi tahu atau mengajari. Harus dipastikan dahulu bahwa pelaku kemungkaran yang menjadi objek penegakan amar makruf nahi mungkar adalah orang yang tidak mengetahui hukum sebenarnya dari kemungkaran tersebut. Kalaupun tahu bahwa kelakuannya merupakan kemungkaran maka ia segera meninggalkan kelakuan tersebut. Pegiat amar makruf nahi mungkar harus menjelaskan hukum kemungkaran tersebut kepada pelakunya secara lembut, penuh kasih sayang, dan sabar.
  2. Nahi mungkar harus dilakukan secara bijak, penuh nasihat, dan jika harus ditakut-takuti maka arahkan agar takut kepada Allah.
  3. Dengan menggunakan kata-kata yang lebih keras agar mau meninggalkan kemungkaran. Kata-kata yang lebih keras mungkin diperlukan, tetapi tetap harus dalam koridor kebenaran dan kejujuran serta tidak boleh menggunakan kebohongan. Penggunaan kata-kata kotor atau keji tidak diperkenankan. Demikian pula melayangkan tuduhan, seperti tuduhan zina tanpa saksi yang cukup, juga tidak diperbolehkan.
  4. Ketika tiga cara itu masih belum mempan, maka baru diperkenankan menggunakan tangan (kekuatan) untuk menanggulangi kemungkaran. Namun, para ulama juga tidak gegabah, terbukti dengan adanya tiga tingkatan dalam penggunaan tangan dalam nahi mungkar ini, yaitu sebagai berikut.
a.      Berlaku keras terhadap barang-barang tertentu, tidak langsung mengenai pelaku kemungkaran. Misalnya membanting gelas yang berisi khamar atau barang-barang pecah belah lainnya.
b.      Mengancam akan memukul.
c.       Jika kedua cara kekerasan sebelumnya masih tidak manjur, maka diperbolehkan memukul langsung pelaku kemungkaran.
Kedua penulis juga mewanti-wanti bahwa pegiat amar makruf nahi mungkar harus memosisikan diri sebagai seorang penolong. Sebagai penolong, seseorang tidak boleh semena-mena menyakiti pelaku kemungkaran, apalagi sampai menjatuhkan hukuman sesuai hudud karena kewenangan vonis dan pelaksanaan hudud hanya dimiliki oleh hakim(pemerintah).
  1. Mengangkat senjata dalam memerangi kemungkaran. Cara terakhir ini tidak diperbolehkan oleh jumhur ulama karena merupakan domain pemerintah atau lembaga yang mendapatkan wewenang dari negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar