Rabu, 27 Maret 2013

Labelisasi Negara-kafir



Persoalannya kemudian adalah bahwa kelompok-kelompok radikal yang muncul di Dunia Islam ini tampaknya cenderung simplistic dalam memahami ayat 44 surah al-ma’idah ini. Mereka kerap melabelkan para penguasa di Negara-negara  mayoritas Muslim yang,dalam pangdangan mereka, tidak menerapkan hukum Allah, sebagai kafir, sehingga berhak “diperangi”. Adalah suatu hal yang sangat disayangkan bila dalam pandangan simplistic kelompok radikalis ini hamper seluruh Negara Arab-Islam dewasa terkena lebel sebagai Negara kafir.
     Dalam analisis M. S Ramadhan al-Buthi, ulama terkemuka asal Suriah, pandangan simplistik ini sesungguhnya mengandung dua kesalahan fatal dalam pandangan semua aliran pemikiran Islam, kecuali Khawarij. Pertama, pandangan simplistik itu akan mengakibatkan terjadinya pengafiran missal tanpa melihat individu-individu muslim secara perorangan; dan Kedua, munculnya asumsi bahwa setiap pelanggaran hukum Allah sebagai kafir,tanpa melihat lebih jauh motivasi dan alasan-alasan yang melatarbelakangi terjadinya pelanggaran itu.
     Sebab,boleh jadi seorang Muslim tidak melaksanakan syariah Islam bukan karena pengingkaran dan pelecehan atas hukum Allah, melainkan kerena alas an kemalasan, dorongan hawa nafsu,interes-interes keduniaan, atau alas an lain yang bukan yang bukan pengingkaran dan pelecehan. Secara demikian, sebelum vonis kafir dijatuhkan,seseorang harus memverifikasi alas an orang per orang mengapa mereka tidak melaksanakan Hukum Islam. Bila alasan-alasan dibalik itu belum ditemukan, maka keIslaman seseorang tidak boleh diganggu gugat berdasarka kaidah “Suatu prinsip adalah tetapnya sesuatu sebagaimana” (al-ashlu baqa’u ma kana’ala ma kana).   
     Yang perlu ditegaskan kembali adalah bahwa, sesuai dengan pendapat seluruh aliran kalam dan fiqih Islam-kesuali aliran khawarij yang radikal dan menyimpang-pengafiran (takfir) adalah persoalan akidah. Bila perkataan dan perbuatan seseorang Muslim telah secara jelas dan menyakinkan bertentengan dengan prinsip-prinsip akidah Islam, diantaranya melecehkan dan mengingkari hukum-hukum Allah, maka ia dapat disebut sebagai telah keluar dari Islam (kafir). Namun, bila tidak terdapat bukti yang jelas dan menyakinkan bahwa ia telah menghina dan melecehkan hukum Allah karena adanya kemungkinan-kemungkinan atau alas an lain, maka pelanggaran yang dilakukan tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan kafir, paling jauh sebagai pendosa yang fasik. Adapun hakikat yang ada di dalam hatinya, kita serahkan kepada Allah yang Mahatau,nahkumu bi al-zhawahir wa-llah yatawalla al-sara’ir.
Sampai titik ini, ada baiknya kita mengutip perkataan Imam Ahmad, seorang ulama yang dikenal dangat tegas dalam menjalankan hukum-hukum Allah, untuk mendukung kesepakatan seluruh aliran kalam dan fiqih Islam-terkecuali khawarij-tentang persoalan takfir sebagaimana dijelaskan di atas. Sebagaimana disampaikan oleh Ibnu Qudamah, Iman Ahmad pernah berkata:
Barang siapa yang mengatakan khamar adalah halal,maka ia telah kafir yang diminta untuk bertobat. Bila bertobat, maka ia kembali menjadi muslim; bila tidak, ia boleh dibunuh. Tetapi pengafiran ini harus dibatasi bagi mereka yang sengaja menghalalkan apa yang telah pasti pengaharamannya, atau meminum khamar, mereka tidak bisa divonis fafir (murtad) begitu saja, baik mereka melakukannnya dia Darul Harb atau di Darul Isalm. Sebab, boleh jadi mereka melakukan hal-hal itu dengan tetap menyakini keharamannya. Demikian pula halnya bentuk-bentuk pelanggaran lainnya.”

Selasa, 26 Maret 2013

Apa itu Kekerasan dan Terorisme?



Dalam Ramus Besar Bahasa Indonesia kekerasan didefinisikan dengan perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.[1] Dalam bahasa Arab, kekerasan disebut dengan al-'unf, antonim al-rifq yang berarti lemah lembut dan kasih sayang. Pakar hukum Universitas al-Azhar, Abdullah an-Najjar, mendefinisikan al-'unf dengan penggunaan kekuatan secara ilegal (main hakim sendiri) untuk memaksakan pendapat atau kehendak.[2]  Dari beberapa pengertian di atas, kekerasan melambangkan sebuah upaya merebut suatu tuntutan dengan kekuatan dan paksaan terhadap pihak lain. Cara seperti ini tentu tidak terpuji dalam pandangan agama-agama dan nilai-nilai kemanusiaan, sebab
kekuatan akal, jiwa, dan harta yang seharusnya digunakan untuk hal-hal yang produktif bagi pengembangan diri dan masyarakat berubah menjadi kekuatan yang destruktif. Tetapi penggunaan kekerasan tidak selamanya tercela, yaitu bilamana digunakan untuk merebut hak yang terampas seperti pada perlawanan melawan penjajah atau memberantas kezaliman dalam masyarakat, terutama bila jalan damai tidak tercapai. Kekerasan menjadi tercela bilamana digunakan untuk membela satu hal yang dianggap benar dalam pandangan yang sempit, atau merebut hak yang sebenarnya dapat diperoleh tanpa melalui kekerasan.[3]
Sejarah kemanusiaan mencatat, seperti terekam dalam al-Qur'an, aksi kekerasan yang berupa pembunuhan pertama kali terjadi antara kedua anak Nabi Adam as; Qabil dan Habil. Al-Qur'an menceritakan itu agar fenomena kekerasan tidak terulang dan setiap aksi kekerasan pasti akan menimbulkan goncangan jiwa dan penyesalan yang mendalam dalam diri pelakunya seperti dialami oleh Qabil (Baca Ja’sah tersebut dalam QS. al-Ma'idah [5]: 27-31). Karena itu, al-Qur'an memberi ketentuan, membunuh satu jiwa tanpa alasan yang benar sama halnya dengan membunuh seluruh/ umat manusia (QS. al-Ma'idah [5]: 32). Dalam sejarah kenabian, kekerasan dialami oleh banyak nabi dari kalangan Bani Israil. Tidak sedikit para nabi yang dibunuh dalam menjalankan tugas kenabian (QS. al-Baqarah [2]: 61; QS. Ali 'Imran [3]: 21).
Dalam konteks ayat-aya di atas. al-Qur'an berbicara tentang kekerasan dalam pengertian negatif yang dikecamnya meski kata al-'unf sendiri tidak digunakan dalam al-Qur'an. Penggunaan kata al-'unf tampak jelas dalam beberapa Hadits Nabi saw. seperti:
"Sesungguhnya Allah sivt. tidak mengutusku untuk melakukan kekerasan, tetapi untuk mengajarkan dan memudahkan”.[4]
"Sesungguhnya Allah swt. Mahalembut/Mahakasih-sayang. Melalui sikap kasih sayang Allah akan mendatangkan banyak hal positif, tidak seperti halnya pada kekerasan.”[5]
Suatu ketika sekelompok orang Yahudi mendatangi Nabi saw dan mengucapkan salam dengan diplesetkan menjadi, as-Samu Alaikum (kematian/kecelakaan untuk kalian). Dengan marah Aisyah, istri   beliau   menjawab:   Alaykum,   wa   la'anakumulldh wa ghadhiballahu 'alaikum (Kecelakaan untuk kalian, semoga Allah melaknat dan memurkai kalian). Lalu Rasulullah mengingatkan Aisyah, "Kamu harus berlemah-lembut, jangan melakukan kekerasan (al-'unf) dan kekejian.[6]
Dari penjelasan al-Qur'an dan Hadits di atas tampak jelas Islam sebagai agama yang antikekerasan terhadap siapa pun, termasuk yang berlainan agama.
Salah satu bentuk kekerasan yang menimbulkan kengerian dan kepanikan masyarakat dunia saat ini adalah terorisme. Kepanikan tersebut mengakibatkan ketidakjelasan pada definisi terorisme itu sendiri, sehingga tidak jarang pemberantasan terorisme dilakukan dengan melakukan aksi teror lainnya. Meskipun dalam sejarah kemanusiaan aksi teror telah menjadi bagian dari fenomena, kekacauan politik yang ada, tetapi sebagian kalangan mengaitkannya
dengan agama Islam dan peradaban Arab dan Islam. Padahal, terorisme adalah fenomena umum, tidak terkait dengan agama, budaya, dan identitas kelompok tertentu.
Istilah terorisme sendiri baru populer pada tahun 1793 sebagai 3 akibat Revolusi Prancis, tepatnya ketika Robespierre mengumumkan era baru yang disebut Reign of Terror (10 Maret 1793 - 27 Juli 1794).  Teror menjadi agenda penting para pengawal revolusi dan menjadi
keputusan pemerintah untuk mengukuhkan stabilitas politik. Sasarannya bukan hanya lawan politik, tetapi juga tokoh-tokoh moderat, pedagang, agamawan, dan lain sebagainya. Selama berlangsung Revolusi Prancis, Robespierre dan yang sejalan dengannya seperti St. Just dan Couthon melancarkan kekerasan politik dengan membunuh 1366 penduduk Prancis, laki-laki dan perempuan, hanya dalam waktu 6 minggu terakhir dari masa teror.[7]
Dalam kamus Oxford, kata terrorist diartikan dengan orang yang melakukan kekerasan terorganisir untuk mencapai tujuan politik tertentu. Aksinya disebut terrorisme, yaitu penggunaan kekerasan dan kengerian atau ancaman, terutama untuk tujuan-tujuan politis.[8]
Dalam bahasa Arab, istilah vang populer untuk aksi ini adalah dan pelakunya disebut al-Irhdbi. Para penyusun al-Mu'jam al-Wasith memberikan arti al-Irhdbi dengan, "sifat yang dimiliki oleh mereka yang menempuh kekerasan dan menebar kecemasan untuk mewujudkan tujuan-tujuan politik".[9]  Al-lrhab dengan pengertian semacam ini tidak ditemukan dalam al-Qur'an dan kamus-kamus bahasa Arab klasik, sebab itu istilah baru yang belum dikenal pada masa lampau. Bahkan, penggunaan kata ini dalam bentuk derivasinya, turhibun atau lainnya, dalam al-Qur'an seperti pada QS. al-Anfal [8]: 60 bermakna positif. Sebab, melalui ayat ini Allah memerintahkan umat beriman untuk mempersiapkan diri dengan berbekal kekuatan apa saja yang dapat menggentarkan (turhibun) musuh-musuh Allah dan musuh-musuh mereka.
Tidak berbeda jauh dengan pengertian di atas, Kamus besar Bahasa Indonesia mendefinisikan teror dengan usaha menciptakan ketakutan, kengerian dan kekejaman oleh seseorang atau golongan. Terorisme: penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik).
Organisasi-organisasi internasional, seperti PBB, mendefinisi-kannya dengan salah satu bentuk kekerasan terorganisir. Bentuknya, seperti disepakati masyarakat dunia, dapat berupa pembunuhan, penyiksaan, penculikan, penyanderaan tawanan, peledakan bom atau bahan peledak, dan lainnya yang dapat menjadi pesan pelaku teror. Aksi tersebut biasanya untuk tujuan politik, yaitu memaksa kekuatan politik tertentu, negara atau kelompok, agar mengambil kebijakan atau mengubahnya sesuai yang diinginkan pelaku.[10] Dalam Sidang Umum ke-83, tanggal 8 Desember 1998, PBB mengecam segala bentuk kekerasan aksi teror dengan alasan apa pun, termasuk yang bermotifkan politik, filsafat, akidah/keyakinan, ras, agama, dan lainnya.
Agen Rahasia Amerika (CIA) pada tahun 1980 mendefinisikan terorisme dengan; ancaman yang menggunakan kekerasan, atau menggunakan kekerasan untuk tujuan-tujuan politik, baik yang dilakukan oleh individu maupun kelompok, untuk kepentingan negara ataupun melawan negara. Masuk dalam definisi ini kelompok-kelompok yang ingin menggulingkan pemerintahan tertentu atau menghancurkan tatanan dunia internasional.
Definisi ini masih sangat umum, sehingga perlawanan rakyat untuk memperoleh hak-hak yang dirampas, seperti perjuangan bangsa Palestina dapat dikategorikan aksi terorisme. Karena itu para sarjana Muslim yang terhimpun dalam keanggotaan Majma' al-Fiqh al-Isldmi dalam sidang putaran ke-14 di Doha, Qatar, 8-13 Dzulqa'dah 1423 H/ll-16 Januari 2003, menegaskan bahwa terorisme adalah permusuhan, atau intimidasi, atau ancaman, baik fisik maupun psikis, yang dilakukan oleh negara, kelompok maupun perorangan, terhadap seseorang yang menyangkut keyakinan (agama), jiwa, harga diri, akal dan hartanya, tanpa alasan yang benar, melalui berbagai aksi yang merusak. Lembaga ini juga menegaskan, jihad dan upaya mati syahid untuk membela akidah, kebebasan/ kemerdekaan, harga diri bangsa dan tanah air bukanlah bentuk teror, tetapi upaya membela hak-hak prinsipil. Karena itu, bagi bangsa-bangsa yang tertindas atau terjajah harus melakukan berbagai upaya untuk memperoleh kemerdekaan.[11]
Dari paparan di atas tampak perbedaan yang cukup mendasar dalam mendefinisikan terorisme. Perbedaan itu mengakibatkan kekaburan makna yang sebenarnya, sebab suatu perjuangan rakyat untuk meraih kemerdekaan atau lepas dari ketertindasan dapat dinilai sebagai aksi teror oleh pihak lain. Demikian sebaliknya, aksi kekerasan dan kezaliman menjadi legal dengan dalih menumpas terorisme. Karena itu tak heran, kendati masyarakat dunia telah sepakat mengecam terorisme, tetapi upaya pemberantasannya dalam bentuk kerja sama internasional selalu gagal.
Namun, dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan beberapa ciri terorisme, antara lain: menciptakan suasana mencekam dan mengerikan, dilakukan secara terorganisir, bertujuan politik dan bersifat internasional. Untuk mengetahui sikap Islam terhadap kekerasan, apa pun bentuknya, terlebih dahulu akan dijelaskan beberapa istilah terkait dengan kekerasan dan terorisme dalam al-Qur'an.


[10] Ezzuddin, al-lrhab wa al-'Unf as-SiyasJ, h. 89.                                                

Senin, 25 Maret 2013

Jihad Bernama Terorisme


Salah satu konsep ajaran Islam yang dianggap menumbuhsuburkan kekerasan adalah jihad. Konsep ini sering disalahpahami tidak hanya oleh kalangan non-Muslim, tetapi juga di kalangan umat Islam yang tidak memahaminya secara baik, benar, dan utuh. Secara bahasa, menurut pakar al-Qur'an, ar-Raghib al-Ashfahani, dalam kamus kosakata al-Qur'an-nya (al-Mufraddt), jihad adalah upaya mengerahkan segala tenaga, harta, dan pikiran untuk mengalahkan musuh. Seperti diketahui, dalam jiwa setiap manusia kebajikan dar keburukan sama-sama bersanding. Begitu pula dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang terdiri atas banyak individu. Dari sinilah lahir perjuangan (jihad) baik di tingkat individu maupun di tingkat masyarakat dan negara. Karena itu al-Ashfahani membagi jihad kepada tiga macam: 1) menghadapi musuh yang nyata; 2) menghadapi setan; dan 3) menghadapi nafsu yang terdapat dalam diri masing-masing. Di antara ketiga macam jihad ini yang terberat adalah jihad melawan hawa nafsu, sebagaimana sabda Rasulullah saw. ketika beliau baru saja kembali dari medan pertempuran; "Kita kembali dari jihad terkecil menuju jihad yang lebih besar, yakni jihad melawan hawa nafsu”.[1]
Memahami jihad dengan arti hanya perjuangan fisik atau perlawanan bersenjata adalah keliru. Sejarah turunnya ayat-ayat al-Qur'an membuktikan bahwa Rasulullah saw. telah diperintahkan berjihad sejak beliau di Mekkah, dan jauh sebelum adanya izin mengangkat senjata untuk membela diri dan agama. Pertempuran pertama dalam sejarah Islam baru terjadi pada tahun kedua Hijriah, tepatnya 17 Ramadhan, dengan meletusnya Perang Badar, yaitu setelah turun ayat yang mengizinkan perang mengangkat senjata seperti pada QS. al-Hajj [22]: 39-40. Allah berfirman:
"Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu. (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah". Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama) -Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa".
Ayat ini menunjukkan bahwa perang yang diperkenankan adalah dalam rangka mempertahankan diri, agama, dan tanah air. Fithrah manusia cenderung tidak menyukai perang atau kekerasan, dan lebih mendambakan kedamaian. (QS. al-Baqarah [2]: 216) menyatakan demikian. Karena itu, hubungan Islam dengan dunia luar pada dasarnya dibangun atas perdamaian. Tetapi dalam kondisi tertentu, seperti jika ada pihak yang memusuhi Islam atau mengumumkan perang terhadap Islam dan umat Islam, Islam mengizinkan perang.
Perang membela agama tidak hanya dibolehkan oleh Islam. Agama Kristen yang sangat toleran sekalipun seperti tergambar dalam ungkapan Yesus dalam Injil Matius [5], 39: Jika ada yang menampar pipi kanan Anda maka putarlah dan berilah dia pipi kiri, juga membolehkan perang dalam situasi manakala dipandang membahayakan diri (Injil Lukas [22], 35-38; Lukas [12], 49-52).
Mayoritas ulama Islam berpandangan tidak boleh memulai peperangan kecuali jika orang kafir lebih dahulu menyerang umat Islam. Perang dalam Islam lebih bersifat defensif sebagai upaya mempertahankan diri bila ada ancaman dan serangan. Para ahli hukum Islam (fuqahd) dari kalangan empat mazhab: Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali menyatakan, sebab perang dalam Islam adalah karena ada permusuhan atau penyerangan dari orang kafir, bukan karena kakafiran mereka. Kalau mereka menyerang umat Islam maka sudah menjadi kewajiban untuk membalas serangan. Jadi, bukan karena kekafiran atau perbedaan agama. Karena itu tidak boleh menyerang seseorang lantaran berbeda agama atau kafir, tetapi hanya boleh jika ia menyerang lebih dahulu.[2]
Dari sini amat keliru pandangan sementara intelektual Barat yang menyatakan "Islam jaya di atas pedang", "Islam tersebar dengan jalan perang". Sejarah membuktikan sebaliknya. Di banyak belahan dunia, seperti di Melayu, Islam tersebar dengan cara damai. Inilah yang membuat pemikir Barat lain seperti Thomas Carlel, Gustav Le Bon, sejarawan terkenal asal Prancis, mengkritik tesis para koleganya dengan menafikan tesis Islam tersebar dengan pedang.[3] Apalagi kalau kita pahami izin kebolehan berperang baru diperoleh dari Tuhan setelah 15 tahun Rasulullah mengembangkan dakwah Islam.
Jihad dengan pengertian di atas tentunya sangat bertolak belakang dengan terorisme }'ang secara bahasa berarti 'menimbulkan kengerian pada orang lain yang biasanya untuk mencapai tujuan-tujuan politik tertentu'. Jihad dengan pengertian perang bertujuan untuk melindungi kepentingan dakwah Islam, termasuk memberikan jaminan kebebasan beragama dan beribadah bagi seluruh umat manusia, sebab Islam sangat menjunjung tinggi kebebasan beragama. Tidak boleh ada paksaan dalam memeluk agama. (QS. al-Baqarah [2]:  256 dan (QS. al-Kahfi [18]: 29) Karena itu, ketika berhasil menaklukkan Yerussalem, Khalifah Kedua, Umar ra., memberikan jaminan keamanan terhadap jiwa, harta, dan rumah ibadah penduduk kota yang beragama Kristen. Beliau mengatakan, "Gereja-gereja mereka tidak boleh dirusak dan dinodai, begitu juga salib dan harta kekayaan mereka. Tidak boleh seorang pun dari mereka dipaksa untuk meninggalkan agama mereka, dan juga tidak boleh disakiti......."[4]
Kendati dalam kondisi tertentu menggunakan kekerasan melalui jihad diperbolehkan tetapi Islam memberikan aturan yang ketat dan sejalan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan, misalnya dalam sebuah peperangan Islam melarang untuk membunuh agamawan yang mengkhususkan diri dengan beribadah, wanita, anak kecil, orang tua lanjut usia, dan penduduk sipil lainnya yang tidak ikut perang. Demikian pula Islam melarang perusakan lingkungan seperti menebang pohon, membakar rumah, merusak tanaman, dan menyiksa binatang.[5] Mufti Besar Mesir, Prof. Dr. Syekh Ali Jumu'ah, menyebutkan 6 syarat dan etika perang dalam Islam yang membedakannya dengan terorisme, yaitu:
1.        Cara dan tujuannya jelas dan mulia;
2.        Perang/pertempuran hanya diperbolehkan dengan pasukan yang memerangi, bukan penduduk sipil;
3.        Perang harus dihentikan bila pihak lawan telah menyerah dan memilih damai;
4.        Melindungi tawanan perang dan memperlakukannya secara manusiawi;
5.        Memelihara lingkungan, antara lain tidak membunuh binatang tanpa alasan, membakar pohon, merusak tanaman, mencemari air dan sumur, merusak rumah/bangunan;
6.        Menjaga hak kebebasan beragama para agamawan dan pendeta dengan tidak melukai mereka.[6]
Dari sini sangat jelas perbedaan antara jihad dengan pengertian perang dan terorisme. Karena itu, salah satu butir hasil keputusan sidang Majma' al-Fiqh al-Islami no. 128 tentang Hak-Hak Asasi Manusia dan Kekerasan Internasional poin kelima menyatakan, "Perlu diperjelas pengertian beberapa istilah seperti jihad, terorisme, dan kekerasan yang banyak digunakan media massa. Istilah-istilah tersebut tidak boleh dimanipulasi dan harus dipahami sesuai dengan pengertian yang sebenarnya".[7]


Senin, 18 Maret 2013

Hukum Allah di Negara Kafir

Dalam sebuah hadits shahih, Imam Muslim meriwayatkan dari Auf bin Malik, bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah bersabda: “Pemimpin kalian yang terbaik adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan sebaliknya mereka mendoakan kalian. Seburuk-buruk pemimpin adalahyang memurkai kalian dan kalian juga murka kepada mereka, yang melaknat kalian dan kalian pun melaknat mereka”. Aut berkata, “Wahai Rasulullah, apakah boleh kami perangi mereka? Rasulullah menjawab, “Tidak boleh, selama mereka melaksanakan sholat, maka doakanlah mereka”. Dalam riwayat lain dari Ummu Salamah, dijelaskan bahwa seseorang yang menolak perilaku penguasa yang zhalim dengan mendoakan, karna tidak mampu mengubahnya dengan perkataan dan perbuatan, maka dia telah lepas dari tanggung jawab. Tetapi, mereka yang mengikuti langkah zalim penguasa mereka itulah yang berbuat maksiat (al-‘ashi).

     Berdasarkan Hadits di atas, kita dapat berkata bahwa Islam tidak memperkenankan perbuatan melanggar hukum terhadap penguasa Muslim dan membunuh atau memeranginya selama mereka melaksanakan beberapa ketentuan ajaran Islam, walaupun hanya mendirikan sholat. Seorang muslim yang mendapati penguasa yang melanggar ajaran Islam hendaknya memberi nasihat dan menempuh jalan damai. Sebab, seperti dinyatakan dalam sebuah hadits, agama adalah nasihat, di antaranya bagi pemimpin muslim. Jika mereka melanggar ketentuan ajaran Islam, maka penduduk muslim tidak boleh menaatinya. Taat kepada penguasa hanya diperkenankan dalam batas-batas yang telah di tetapkan oleh Allah dan Rasulnya. Rakyat harus terus mengingatkan agar ajaran Islam di tegakkan dengan baik melalui keteladanan dan argumentasi yang meyakinkan, bukan dengan mengafirkan atau memerangi dan membunuh mereka. Dalam kaitan ini Imam Nawawi berkata:
“Janganlah kalian menghalangi dan mengkhianati penguasa dalam menjalankan pemerintahan, kecuali jika mereka secara terang-terangan mengingkari prinsip-prinsip ajaran Islam yang telah kalian ketahui. Jika kalian mendapati mereka sedemikian rupa, maka tolaklah dan sampaikan kebenaran di mana kalian berada. Adapun tindakan memboikot dan memerangi mereka, maka hukum haram berdasarkan kesepakatan (ijmak ulama), meskipun mereka fasik dan zalim. Penguasa yang zalim tidak dapat begitu saja dilengserkan atau di khianati, sebab hal itu dapat menimbulkan kekacauan di tengah masyarakat, pertumpahan darah, terputusnya hubungan persaudaraan, sehingga dampak buruk jauh lebih besar dari kezaliman yang di lakukanya.”

     Menurut Imam ad-Dawudi, mayoritas ulama berpandangan dalam hal penguasa yang zalim, bila memungkinkan untuk di lengserkan tanpa menimbulkan gejolak (fitnah) di tengah masyarakat dan di lakukan secara legal maka hukumnya wajib. Tetapi bila tidak, maka hendaknya bersabar dengan mendoakannya.

     Diakui, di Negara ajaran Islam, hukum-hukum Islam tidak di terapkan secara menyeluruh (kaffah/komperhensif), padahal umat Islam di tuntut menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, baik pada tataran individu maupun masyarakat. Tetapi, sejarah membuktikan,tuntutan agar di terapkan hukum Islam oleh penguasa melalui aksi kekerasan dan benturan senjata tidak pernah berhasil mengembalikan syariah Islam yang ‘hilang’ (tidak di terapkan). Bahkan sebaliknya, seperti di akui oleh kelompok Jamaah Islamiyah, mesir, yang telah menyatakan pertobatan massal  mereka tahun 1997, aksi kekerasan justru menimbulkan petaka besar bagi Islam dan umat Islam. Peledakan dan pengeboman yang di lakukan sejumlah aktivis muslim bersenjata di beberapa Negara telah mempersempit ruang gerak dakwah Islam. Sikap anti Islam merebak di Negara-negara barat. Amerika Serikat dan sekutunya dengan beraninya mengintervensi Negara-negara Islam dengan alasan mencegah pemikiran dan sikap radikal di kalangan umat Islam. Aksi-aksi seperti itu juga telah menghambat laju pertumbuhan ekonomi di Negara-negara Islam karena iklim usaha yang tidak konduksif akibat hilangnya rasa aman.

     Dari uraian di atas dapat di tarik kesimpulan bahwa melakukan pemberontakan dan upaya penggulingan suatu pemerintahan yang sah dengan alasan pengafiran massal terhadap Negara-rakyat dan pemerintah-berdasarkan ketiga ayat surah al-Ma’idah tersebut, merupakan suatu tindakan yang bertentangan dengan agama. Lebih-lebih lagi bila di ketahui bahwa terdapat banyak ayat al-Qur’an dan sabda Nabi saw. Yang melarang untuk gegabah mengafirkan sesama Muslim tanpa bukti-bukti yang jelas dan meyakinkan sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya. Ambillah misalnya firman Allah dalam Qs. an-Nisa’ [4]: 94:
“Dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan ‘salam’ kepadamu, ‘kamu bukan seorang mukmin’ (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak.”

     Berkaitan dengan larangan untuk tidak gegabah mengafirkan sesama Muslim, Rasulullah saw. Mewanti-wanti, antara lain, melalui dua sabdanya:
“Tiga hal yang termasuk prinsip keimanan, di antaranya, tidak menyakiti orang yang mengucapkan la ilaha illAllah, tidak mengafirkan karena berbuat dosa, dan tidak mengeluarkan dari Islam karena amalnya.

“Tidaklah seseorang menuduh orang lain sebagai fasik dan kafir, kecuali tuduhan itu akan kembali kepadanya jika yang di tuduh tidak demikian keadaannya”. (HR. Ahmad)

     Dari nash-nash di atas menjadi jelas kiranya bahwa Islam tidak membenarkan mengafirkan seorang muslim yang telah berbuat dosa_lebih-lebih dalam bentuk takfir missal terhadap Negara-baik dosa karena meninggalkan kewajiban maupun menjalankan yang di haramkan. Bahkan, begitu keras larangan mengafirkan sesame Muslim dalam Islam, sampai-sampai tuduhan kafir yang dilontarkan seseorang, jika tidak benar, justru akan menjadi boomerang bagi si penuduh, wal-‘iyadzu billah.